200 Iklan Melanggar EPI

Expose, Berita
Ratusan perusahaan produsen berbagai produk barang dan jasa terlibat dalam praktek penayangan dan pemuatan iklan menyesatkan dalam kurun waktu tiga tahun. Sampai sekarang praktek pelanggaran etika periklanan itu masih terjadi. Badan Pengawas PPPI dianggap lemah dalam pengawasan terhadap aksi anggota menegnai etika periklanan tersebut.
Ketua Badan Pengawas Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
FX Ridwan Handoyo mengatakan, masalah pelanggaran periklanan menyangkut maslah luas dan kompleks. Didalamnya melibatkan pelaku usaha, biro iklan, media dan pihak terkait. Pelanggaran terhadap periklana itu mengacu pada panduan periklanan yang berlaku bagi seluruh usaha periklanan dan biro iklannya.
” Didalam industri perikalanan mengacu pada panduan etika pariwisata indonesia (EPI) disusun oleh Dewan Periklanan Indonesia. Seluruh asosiasi berada di dalam konteks etika periklanan mengacu pada EPI. Di dalam Dewan periklanan Indonesia beranggotakan asosiasi yang terkait industri periklanan. Salah satunya PPPI, media massa. ATPSI, TVRI, ATPLI, AMLI, SPS, PRSMI, APINA, AFINA dan asosiasi pengiklan lainnya,” jelasnya.
Meskipun pedoman periklanan sudah ada, Tapi penegakan aturan tata cara perikan dan etika periklanan masih sangat lemah di Indonesia. Pelanggaran etika periklanan dilakukan oleh perusahaan periklanan maupun lembaga terkait di luar PPPI. Organisasi tersebut mengakui lemah dalam hal mengawasi praktekk anggotanya dengan alasan anggota pengawas yang minim. Ada beberapa praktek iklan menyesatkan yang terdeteksi.
”Yang ditangkap pelanggaran lebih banyak yang dilakukan di Jakarta. Tahun 2005-2008 ada 360 iklan yang dievaluasi. Dan lebhi dari 200 melanggar. Dan Kami sudah melakukan teguran pada para biro iklan yang berada dalam organisasi periklanan PPPI,” jelasnya.
200 oknum biro iklan dan afiliasinya sudah mendapat teguran keras dari PPPI. Pelanggaran periklanan yang dilakukan terbagi dalam beberapa jenis. 35 persen Pelanggaran terhadap pernyataan superlative yang tidak didukung fakta objektif sekitar 35%. Iklan menyesatkan superlative yaitu pelanggaran iklan yang mengklaim produknya termurah dan terbaik. Iklan semacam itu dianggap melanggar apabila tidak disebutkan faktor objektif atas janji tersebut. Ikaln produk menyesatkan yang paling marak adalah 20 persen tentang produk kesehatan dan obat-obatan, sisanya adalah iklan minuman, susu, telekomunikasi, kecantikan dan perawatan pribadi dan iklan rokok. Sebagian besar iklan menyesatkan adalah produk buatan lokal.
”Dasarnya tidak dilarang memakai superlative. Yang harus diperhatikan, pengiklan dan biro iklan pada saat menggunakan superlative, harus justifes dimana yang termurah. Dimananya yang termurah. Harus dijelaskan secara objektif dimana harganya termurah,” jelasnya
Pelanggaran periklanan tertinggi lainnya berhubungan dengan penayangan dan pemuatan iklan produk obat-obatan yang tidak mencantumkan peringatan aturan pakai dan kontradiksi konsumsi dan peraturan pemerintah soal kesehatan. Misalnya aturan pakai, hubungi dokter bila sakit berlanjut.
” Lebih dari 100 perusahaan yagn ditegur. Sebagian adalah anggota PPPI dan sebagian lagi bukan PPPI,” jelasnya.
Iklan adalah suatu janji pada konsumen. Kalau sampai menipu konsumen, yang berbahaya produk konsumen sendiri. Kalau tidak dipercaya akan sulit diteirma pasar
Berdasarkan etika pariwata terdapat etika perikalnan yang wajib dipatuhi perusahaan periklanan maupun produsen yaitu Jujur menyampaikan informasi produk yang benar, iklan rokok tidak boleh ada iklan rokoknya dan dilarang menonjolkan produk erotis yang tidak ada kaitan dengan produk yang diiklankan. Larangan periklanan lain adalah pemakaian ahli kesehatan dan ahli agama dalam iklan. ”Sanksi etika adalah sanksi sosial. Etika berpedoman kondisi budaya,” jelasnya
Peran pemerintah juga turut memegang peranan penting bagi perlindugnan konsumen dari iklan menyesatkan. Semua produsen juga diwajibkan untuk mencantumkan nama produsen dan layanan customer atau hotline untuk pelayanan konsumen.
Acuan lain bagi PPPI saat menindak oknum pengiklan aygn melanggar adalah UU 8 tahn 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 17 ayat 1. Menurutnya sanksi itu berupa teguran pada anggotanya. Bagi konsumen yang merasa dirugikan atas perikalnan itu juga dapat menempuh jalur hukum melalui lembaga perlindungan konsumen terkait.
Saat ditanya mengenai siapa yang bertanggung atas ikan meneysatkan, Ridwan Handoyo menegaskan, tanggung jawab iklan tetap pada produsen atau pengiklan yang menawarkan produk itu dan bukan pada biro periklanan
Agar Konsumen terhindar dari ikaln menyesatkan, Ridwan Handoyo memberikan pedoman antara lain konsumen meneliti sedetiil mungkin penjelasan iklan Kalau perlu membuka website perusahan bersangkutan atau menelepon kepada perusahaan pengiklan untuk informasi lebih lanjut. Bandingkan iming iklan itu dari referensi kenalan atau orang yang pernah menggunakan tawaran iklan tersebut. ”Saat membeli, juga baca secara teliti keterangan packaging dan penjelasan agreement dalam kemasan produknya Perhatikan asteriks atau huruf kecil yang dijelaskan dalam kemasan maupun iklan. Kalau konsumen telah tertipu, gunakan hak anda sebagai konsumen secara hukum,” jelasnya.
Ketua Kompartemen Umum dan Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Robert Imam Soetedja, juga menyayangkan maraknya iklan kesehatan seperti obat dan layanan kesehatan yang menyesatkan. Sebagai contoh, iklan sebuah merek obat mengklaim dapat mengatasi sesak napas. Iklan itu tidak menyebutkan kondisi seperti apa yang bisa diatasi dengan obat itu. ”Padahal, sesak napas bisa terjadi pada penderita asma maupun penyakit jantung. Kalau terkena jantung, minum obat itu berapa pun banyaknya tidak akan mempan,” kata Robert.(Rd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar